SLIDE GUE...

API DAN ASAP

Diposting oleh ARIS KRISNA MUNANDAR

Suatu ketika, ada sebuah kapal yang tenggelam diterjang badai. Semuanya porak poranda. Tak ada awak yang tersisa, kecuali satu orang yang berhasil mendapatkan pelampung. Namun, nasib baik belum berpihak pada pria ini.

Dia terdampar pada sebuah pulau kecil tak berpenghuni, sendiri, dan tak punya bekal makanan.

Dia terus berdoa pada Tuhan untuk menyelamatkan jiwanya. Setiap saat, dipandangnya ke penjuru cakrawala, mengharap ada kapal yang datang merapat. Sayang, pulau ini terlalu terpencil. Hampir tak ada kapal yang mau melewatinya.

Lama kemudian, pria ini pun lelah untuk berharap. Lalu, untuk Menghangatkan badan, ia membuat perapian, sambil mencari kayu dan pelepah nyiur untuk tempatnya beristirahat. Dibuatnya ruman-rumahan, sekedar tempat untuk melepas lelah. Disusunnya semua nyiur dengan cermat, agar bangunan itu kokoh dan dapat bertahan lama.

Keesokan harinya, pria malang ini mencari makanan. Dicarinya buah-buahan untuk penganjal perutnya yang lapar. Semua pelosok dijelajahi, hingga kemudian, ia kembali ke gubuknya. Namun, ia terkejut. Semuanya telah Hangus terbakar, rata dengan tanah, hampir tak bersisa. Gubuk itu terbakar, karena perapian yang lupa dipadamkannya. Asap membubung tinggi, dan hilanglah semua kerja kerasnya semalam. Pria ini berteriak marah,

"Ya Tuhan, mengapa Kau lakukan ini padaku. Mengapa?... Mengapa?". Teriaknya melengking menyesali nasib.

Tiba-tiba...terdengar peluit yang ditiup. Tuittt.....tuuitttt. Ternyata ada sebuah kapal yang datang. Kapal itu mendekati pantai, dan turunlah beberapa orang menghampiri pria yang sedang menangisi gubuknya ini. Pria ini kembali terkejut, ia lalu bertanya, "Bagaimana kalian bisa tahu kalau aku ada disini? Mereka menjawab, "Kami melihat simbol asapmu!!"

Teman, sangat mudah memang bagi kita, untuk marah saat musibah itu tiba.

Nestapa yang kita terima, tampak akan begitu berat, saat terjadi dan berulang-ulang. Kita memang bisa memilih untuk marah, mengumpat, dan terus mengeluh. Namun, teman, agaknya kita tak boleh kehilangan hati kita.

Sebab, Tuhan selalu ada pada hati kita, walau dalam keadaan yang paling berat sekalipun.

Dan teman, ingatlah, saat ada "asap dan api" yang membubung dan terbakar dalam hatimu, jangan kecil hati. Jangan sesali semua itu. Jangan hilangkan perasaan sabar dalam kalbumu. Sebab, bisa jadi, itu semua adalah sebagai tanda dan simbol bagi orang lain untuk datang padamu, dan mau menolongmu.

Sebab, untuk semua hal buruk yang kita pikirkan, akan selalu ada jawaban yang menyejukkan dari-Nya. Tuhan Maha Tahu yang terbaik buat kita.

Jangan hilangkan harapan itu.


Wassalam,

Aris Krisna Munandar Husein

BAHASA IBU, BAHASA KALBU

Diposting oleh ARIS KRISNA MUNANDAR

Tak ada satu patah pun terucap dari bibirnya, pun tak terdengar suaranya. Ia hanya memainkan sedikit matanya untuk membuat kami mundur teratur beberapa langkah dan urung masuk ke dalam rumah. Rupanya, ibu tengah menerima beberapa orang tamu dan nampak sedang serius. Saya sempat berpikir, bahwa tamu-tamu itu hanya orang biasa, bukan orang penting yang tidak bisa diganggu sekian detik oleh kehadiran anak-anak kecil yang baru pulang sekolah. Saya juga tidak berniat mengganggu mereka, hanya sekadar mencium punggung tangan ibu beberapa detik, kemudian meluncur ke kamar.


Tapi maksud ibu berbeda, siapapun tamunya, penting atau tidak penting kedatangannya dan dari manapun datangnya tetap harus dihormati. Jadilah saya, abang dan adik-adik menunggu cukup lama di depan rumah. Tak berani masuk, apalagi memanggil-manggil ibu. Empat puluh menit sudah, si bungsu bahkan sudah terlelap di pojok teras rumah, keringatnya membasahi baju seragamnya yang kotor. Akhirnya, para tamu pun pamit pulang. “Eeh, baru pulang sekolah ya?” tanya mereka. Belum sempat kami menjawab, “Iya, baru sampai tuh,” sergah ibu. Sekali lagi, menjaga hati para tamu agar tak tersinggung.

Tak selalu begitu memang. Tapi dalam beberapa kesempatan, ibu sering mengajarkan kepada kami tentang sopan santun dan tatakrama. Maklum, sebelum-sebelumnya kami sering membuat ibu malu di hadapan tamunya dengan segala polah yang tak terkontrol. Yang minta minumlah, minta dibukakan sepatu, atau ini yang bikin ibu tambah malu, “Bu, belum masak ya? Lapar nih...”

***

Hari ibu tiba. Ini hari yang paling ditunggu oleh kami, karena hari ini adalah jadwal acara memasak bersama, tanpa ibu. Kami akan membiarkan ibu duduk mendampingi kami yang berjibaku dengan kompor dan peralatan masak. Sesekali saya menangkap wajah khawatir ibu saat saya menyalakan kompor minyak. Meski sudah sering dan bisa dibilang mahir saya melakukan pekerjaan itu, tetap saja mata ibu tak lepas dari tangan kecil ini yang menyulutkan api ke sumbu kompor. Begitu api menyala, cerialah wajahnya. Begitu juga ketika si bungsu memotong-motong wortel dan kentang dengan pisau yang ukurannya lebih besar dari tangannya. Maklum, si kecil itu teramat sering terluka jarinya oleh benda tajam itu. Setiap irisan wortel, setiap kali itu pula nafas ibu tertahan. Urusan barang pecah belah, ini urusan “orang gede”. Mulai dari mengambil dari rak piring, menatanya di meja makan, sampai mencucinya setelah pesta usai. Untuk satu hal ini, ibu harus merelakan beberapa benda kesayangannya benar-benar menjadi benda pecah-belah alias benar-benar pecah.

Hidangan pun tersaji, waktunya makan. Karena hari ibu, ibulah yang mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang mencicipi masakan kami. Srrup... sesendok kuah sayur sup olahan kami pun diseruput ibu, dan... matanya menyeripit, bibirnya seperti menahan sesuatu, perlahan tenggorokannya terlihat seolah tak rela membiarkan kuah yang ada di lidahnya masuk ke perut. Seketika, lima wajah kami pun serempak mengerut, “Kenapa?”

“Sup ini... sup paling nikmat yang pernah ibu rasakan,” wajahnya kembali tenang dan ia pun mempersilahkan kami menikmati makan bersama hari itu. Namun sebelumnya, ibu mengajukan saran, “Sup ini sudah nikmat, tapi menurut ibu, kalau mau lebih nikmat airnya perlu ditambah, ya.” Tangan terampil ibu pun mengolah kembali sup tersebut dengan menambah bumbu lainnya. Sepuluh menit berikutnya, barulah pesta sebenarnya dimulai. Sungguh, kami tak tahu apa yang terasa dilidah ibu dengan sup hasil olahan kami.

***

Suatu pagi, ibu mengaku kehilangan sejumlah uang belanjanya. Dikumpulkanlah lima anaknya untuk ditanya satu persatu. Meski ada orang lain selain kami, ibu tetap menganggap perlu untuk mengumpulkan anak-anaknya terlebih dulu. “Ibu menuduh kami?” tanya saya tergagap. “Bukan. Ibu hanya memberi tahu bahwa kita tidak masak hari ini, karena uang belanja ibu tidak ada,” ujar ibu lembut.

Kami pun berangkat sekolah dengan perasaan berat dan saling curiga, siapa yang tega mengambil uang ibu. Tidak sampai di situ, kami pun terbayang siang ini akan dilewati dengan perut lapar. Pulang sekolah, jangan harap ada makanan tersaji di meja makan. Saya sempat berpikir, akan saya pukul orang yang mengambil uang ibu. Karena dia akan menyebabkan semuanya kelaparan.

Kembali dari sekolah, aroma semur tahu kesukaan saya sudah tercium dari pagar depan rumah. Saya berlari ke dapur dan mendapati ibu sedang memasak. “Kok ibu masak? Uangnya sudah ketemu? Siapa yang mengambilnya?” Pertanyaan beruntun saya dijawab ibu dengan senyum. “Siapapun dia, yang jelas dia sudah mengerti kepentingan keluarga lebih utama dari kepentingan sendiri,” jelas ibu. Saya tahu, ibu tak akan memberi tahu siapa orang dimaksud, karena ibu tak ingin kami membencinya. Apalagi memukulnya, seperti niat saya sebelumnya.

***

Ibu, rindu rasanya saya pada masa-masa indah seperti dulu. Semoga masih selalu ada waktu untuk kita mencipta terminal kenangan yang tak kalah indahnya dengan masa lalu. Sungguh, kadang ibu memang cerewet, tapi saya tahu semua itu adalah bahasa kalbu ibu yang selalu menyejukkan hati.

Wassalam,

Aris Krisna Munandar Husein

PURNAMAKU...

Diposting oleh ARIS KRISNA MUNANDAR

Siapa sangka malam ini purnama menampakkan dirinya. Aku sendiri terheran-heran ketika menatap senyumnya. Kok bisa ya...? Begitu batinku bertanya. Meski tidak utuh, namun putih warnanya menghiasi malam menemani sang bintang.

Dan bahagia yang kurasa begitu lengkap dengan hadirnya purnama malam ini. Meski masih belum ku temukan jawaban atas hilangnya purnama malam yang lalu, namun ada kelegaan saat senyumnya tiba-tiba menyapaku saat aku melintas di bawah naungan langit cerah malam ini.

Hmm...Rasanya seperti apa,ya? Biasa saja, bagiku. Namun aku masih menyimpan tanya tentang kekuranganku akan sesuatu yang diberi nama ”intuisi”. Begitu banyak perilakunya yang mungkin bagi orang lain punya maksud tersendiri. Entah apa maknanya dan bentuknya, aku tak tahu. Sulit rasanya untuk mengasah ketajaman menangkap maksud dari sesuatu ”itu” saat ini. Dalam beberapa hari ini, sudah beberapa orang yang mengharuskan aku untuk mengasah yang namanya ”intuisi”. Sekali lagi : ”Instuisi”.

Argh..!!!Tetap saja aku tak mengerti dan tak tahu harus berbuat apa. Dan tiba-tiba, rasa takut menjalari setiap sendi tulangku. Aku takut, dengan kelemahanku itu, ada yang merasa tersakiti, tersia-siakan perngorbanan dan perhatiannya. Namun lagi-lagi, karena kelumpuhanku dalam hal ”intuisi” itu, aku merasa aku telah berpikir terlalu jauh. Bahasa kerennya sih, sensitif atawa gede rasa alias Ge-eR. Nah lo....Aku jadi serba salah. Harus berbuat apa dan bagaimana.

Bingung. Takut. Gelisah. Memenuhi pikiranku malam ini. Langkah terbaik apa yang harus aku lakukan untuk mengantisipasi agar kami sama-sama mendapatkan yang terbaik sekaligus tak merasakan sakit di kemudian hari.

Tuhan...bawa aku menuju jalan petunjuk-Mu. Dan purnama, terangi malam-malamku dengan sinar lembutmu. Agar tentram hatiku, hatinya dan hati setiap insan yang mengharap bahagia.


Wassalam,

Aris Krisna Munandar Husein

DINDA..

Diposting oleh ARIS KRISNA MUNANDAR

Hidup adalah pilihan

Ketika kita ingin meraih sebuah prestasi

Maka kita harus berani bertarung dengan waktu

Karena tuntutan aktivitas menuju tangga kesuksesan

Jauh labih banyak dari pada waktu itu sendiri

Maka dari itu . . .

Jangan sia – siakan kesempatan ini

Karena setiap fajar merekah

maka ia akan menyerukan pada manusia

” wahai cucu Adam aku adalah hari baru

mamfaatkanlah aku

karena aku tidak akan kembali lagi

hingga hari kamat ”.


Dinda .

Mari dindaku . . . duduk disini.. . . .

Hela nafas panjangmu, diam dan nikmatilah

Saat – saat kita melewati detik – detik penantian . . .

Hanyutkan rasa dan pikiran kita untuk manerima hari esok . . .

Ini adalah masa – masa kita melakukan pemanasan

Untuk berlomba memperoleh karuniaNya . . .

Dinda . . .

Ingatlah bagaimana langkah demi langkah perjalanan usia kita . . .

Renungi tahap demi tahap waktu hidup yang telah kita lewati.. . .

Sebuah masa yang tak terbayarkan oleh usia kita sendiri. . . .

Dinda . . .

Bukalah cakrawala dengan banyak bergaul

Karena pergaulan yang luas tidak hanya memberikan banyak teman

Tetapi juga memberikan banyak peluang . . .

Dinda . . .

Selama kita masih berpijak diatas muka bumi ini

dan menghirup udaranya,

Maka selama itu pula ujian dan cobaan akan selalu menyertai kita . . .

Ujian dan cobaan itu selalu ada

Agar setiap kita bisa manyikapinya dengan sikap arif dan bijaksana

Sehingga setelah ujian dan cobaan berlalu

maka akan lahirlah orang – orang shaleh, tabah, sabar,

dan mempunyai kekuatan iman.

Karena kesulitan yang datang menerpa

Bukanlah sesuatu yang tanpa akhir dan tanpa penyelesaian,

Sebab diujung sana pasti ada kemudahan yang akan mengakhirinya . . . .

Dinda . . . .

Renungkanlah . . . . ”Lepaskanlah semua rasa susah dan sedih yang

menyesakkan dada

Jauhkanlah rasa lemah dan mulailah melakukan sesuatu

Yang dapat mendatangkan hasil ”

Wassalam,

Aris Krisna Munandar Husein